Search Suggest

Menumbuhkan Jurnalisme Akar Rumput di Era Digital

Agus.info - Di tengah derasnya arus informasi, dunia media kini dihadapkan pada tantangan yang tidak lagi sederhana. Ketimpangan dalam pemberitaan, dominasi narasi dari pusat, serta hilangnya konteks dalam penyajian berita menjadi isu yang makin nyata. Di tengah situasi seperti itu, Saromben hadir sebagai salah satu media alternatif yang membangun pendekatan jurnalisme dari akar rumput, sebuah jalan yang jarang ditempuh di era digital yang serba cepat.


Menumbuhkan Jurnalisme Akar Rumput di Era Digital


Alih-alih berfokus pada kecepatan atau sensasi, media ini memilih untuk menaruh perhatian pada isu-isu lokal yang sering kali terpinggirkan. Cerita tentang petani yang berjuang mempertahankan tanahnya, perempuan desa yang mendirikan koperasi pangan, atau komunitas adat yang berusaha mempertahankan hutan leluhur mereka, menjadi fokus utama liputan. Mereka tidak memosisikan narasumber sebagai objek, tapi sebagai subjek yang layak menyuarakan pandangannya sendiri.

Dari Pinggiran ke Pusat Wacana

Salah satu prinsip utama dalam jurnalisme akar rumput adalah keberpihakan terhadap masyarakat kecil. Ketika banyak media masih bergulat dengan berita-berita elite politik dan ekonomi, pendekatan ini justru menempatkan warga biasa di garis depan pemberitaan. Tidak semata-mata sebagai "korban" atau "penerima bantuan", melainkan sebagai pelaku kehidupan yang memiliki agensi, pengetahuan lokal, dan daya juang.

Dalam praktiknya, jurnalisme seperti ini membutuhkan waktu dan kedekatan emosional dengan komunitas. Banyak cerita yang tidak bisa diungkap hanya dengan wawancara singkat atau kunjungan satu hari. Wartawan harus turun langsung, tinggal bersama masyarakat, dan membangun kepercayaan. Hal ini sekaligus membedakan pendekatan mereka dari jurnalisme cepat saji yang lebih banyak mengandalkan kutipan dan sumber sekunder.

Slow Journalism di Era Serba Cepat

Salah satu pendekatan yang kini mulai banyak digunakan oleh media akar rumput adalah slow journalism, atau jurnalisme lambat. Prinsipnya adalah memberi waktu bagi proses peliputan dan penulisan, agar cerita yang disajikan tidak hanya faktual, tetapi juga menyeluruh, kontekstual, dan menggugah secara emosional.

Liputan semacam ini tidak mengejar sensasi atau clickbait. Sebaliknya, mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang sering kali luput dari sorotan media konvensional: Mengapa konflik ini terjadi? Siapa yang paling terdampak? Apa yang dilakukan masyarakat untuk bertahan? Dan yang tak kalah penting, bagaimana kita bisa membantu?

Dengan cara ini, pembaca diajak untuk tidak hanya "mengkonsumsi" berita, tetapi juga merenungkan dan bila perlu, terlibat dalam gerakan yang lebih besar.

Teknologi sebagai Jembatan, Bukan Tujuan

Meski berbasis pada komunitas lokal, media seperti ini tidak menutup diri terhadap teknologi. Justru sebaliknya, mereka memanfaatkan platform digital untuk memperluas jangkauan dan memperkuat pengaruh. Website, media sosial, podcast, dan video dokumenter menjadi medium untuk menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya generasi muda yang terbiasa dengan narasi visual dan audio.

Namun, teknologi di sini bukan tujuan akhir. Ia hanya jembatan agar cerita-cerita dari desa, hutan, dan pesisir bisa masuk ke ruang-ruang diskusi nasional. Tujuannya tetap sama: membawa narasi pinggiran ke pusat wacana publik.

Di tengah perjalanan, mereka juga kerap bersinergi dengan jaringan media akar rumput lainnya. Salah satu mitra penting dalam ekosistem ini adalah Portal Narasi, sebuah platform yang menghubungkan berbagai inisiatif media independen dari seluruh Indonesia. Kolaborasi seperti ini memungkinkan pertukaran pengetahuan, berbagi sumber daya, serta memperkuat solidaritas antarjurnalis yang sering bekerja dalam kondisi penuh risiko.

Membuka Ruang untuk Partisipasi Warga

Salah satu kekuatan utama dari pendekatan ini adalah keterlibatan warga sebagai bagian dari proses jurnalistik. Melalui pelatihan, lokakarya, dan pendampingan, masyarakat dilatih untuk menjadi kontributor berita. Mereka belajar menulis, mengambil gambar, hingga membuat video singkat yang merekam kejadian di sekitar mereka.

Hasilnya adalah cerita-cerita otentik dari suara pertama. Bukan jurnalis dari luar yang datang dan menulis versi mereka, tapi masyarakat itu sendiri yang menyampaikan pandangannya. Ini sekaligus menggeser paradigma jurnalisme dari model hierarkis menjadi lebih partisipatif dan horizontal.

Selain meningkatkan literasi media di tingkat lokal, metode ini juga memperkaya keberagaman perspektif dalam pemberitaan nasional. Publik yang lebih luas pun bisa belajar langsung dari pengalaman masyarakat di berbagai penjuru negeri, pengalaman yang selama ini tertutup oleh narasi dominan.

 

Menjadi Jalan Tengah yang Manusiawi

Di tengah polarisasi informasi, kebisingan media sosial, dan kabar bohong yang merajalela, media semacam ini hadir sebagai jalan tengah. Ia tidak menggurui, tidak memihak elite, dan tidak tunduk pada logika pasar semata. Ia hanya ingin bercerita, tentang kehidupan, perjuangan, harapan, dan keadilan.

 

Dan dari cerita-cerita itulah, kita bisa belajar bahwa jurnalisme sejati bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling jujur dalam menyuarakan kebenaran.